Label

Konflik Politik, Definisi Konflik, Pengertian Konflik, Konflik Menurut Ahli, Faktor Penyebab Konflik, Tipe dan Struktur Konflik

KONFLIK POLITIK

Konflik adalah salah satu masalah yang selalukita temui dalam kehidupan kita sehari-hari namun acap kali konflik selalu dihubungkan dengan kekerasan sepertihalnyakerusuhan,kudeta, terorisme, dan lain sebagainya.Mengapaseperti itu, karena dalam konflik selalu diawali dengan perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antar individu atau kelompok yang saling memperebutkansuatu sasaran yangsama-sama dikejarolehkeduabelahpihaktersebut,namun hanya ada salah satu pihak yang memungkinkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Penjelasan lebihlengkap mengenai bagaimana konflik politik yangmeliputi pengertian, faktor penyebab, tipe, struktur, intensitas, pengaturan dan penyelesaian konflik serta tak lupa kami beri gambaran bagaimana contoh kasus konflik politik yang pernah terjadi di Indonesia.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakangyang telah dipaparkan,maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut:

  • Apa itu Konflik?
  • Apa saja faktor penyebab konflik?
  • Bagaimana tipe danstruktur konflik?
  • Bagaimana intensitas, pengaturan dan penyelesaiankonflik?
  • Bagaimana contoh kasus konflikpolitik?

Tujuan

Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:

  • Mengetahui apa itu konflik
  • Mengetahui apa saja faktor penyebab konflik
  • Mengetahui bagaimana tipe danstruktur konflik
  • Mengetahui bagaimana intensitas, pengaturandan penyelesaiankonflik 
  • Mengetahui contoh kasus konflikpolitik


Definisi Konflik

Pengertian Konflik

Konflik merupakan suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak, ketika keduanya menginginkan suatu kebutuhan yang sama dan ketika adanya hambatan dari kedua pihak. Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik mengandung pengertian “benturan” seperti perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antar individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok atau pemerintah1. Jadi konflik politik dirumuskan secara luas sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara sejumlah indidvidu, kelompok ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat yang dilaksanakan oleh pemerintah.Yang dimaksud dengan pemerintah meliputi lembaga eksekutif legislatif dan yudikatif. Sebaliknya secara sempit konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya jugaperilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, danprosedur yang mengatur hubungan-hubungan diantara partisipan politik.


Konflik Menurut Ahli

Charles Watkins berpendapat bahwa konflik terjadi karena terdapat dua hal:

  1. Konflik biasa terjadi bila sekurang-kurangnyaterdapat dua pihak secara potensial dan praktis/operasional dapat saling menghambat. Secara potensial mereka memilik kemampuan untuk menghambat.
  2. Konflik dapat terjadi bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak, namun hanya ada salah satu pihak yang memungkinkan mencapainya.

Joyce Hocker dan William Wilmt dalam bukunya yaitu interpersonal conflict, menurut mereka konflik dapat digambarkan sebagai berikut:

  1. Konflik adalah hal yang abnormal karena hal normal adalah keselarasan,bagimereka yangmenganutpandanganinipadadasarnya bermaksud menyampaikan bahwa suatu konflik hanya merupakan gangguan stabilitas.
  2. Konflik sebenarnya hanyalah suatu perbedaan atau salah paham, mereka berpendapat bahwasanya konflik hanyalah kegagalan berkomunikasi dengan baik sehingga pihak lain tidak dapat memahami maksud yang sesungguhnya.
  3. Konflik adalah gangguan yang hanya terjadi karena kelakuan orang-orang yang tidak beres dan penyebab dari suatu konflik adalah anti sosial.

Marwadi Rauf menyatakanbahwa konflik politik bukanlah konflik individu karena isu yang dipertentangkan dalam konflik politik adalah isu publik yang menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan satu orang tertentu.


Faktor Penyebab Konflik

Salah satu sumber konflik politik adalah adanya stuktur yang terdiri dari penguasa politik dan sejumlah orang yang dikuasi (Rauf,2001: 25-28). Stuktur ini menyebabkan bahwa konflik politik yang utama adalah antara penguasa politikdansejumlahorang yangmenjadiobyekkekuasaanpolitik.Konflikyang hebat antara penguasa politik dengan rakyatnya sendiri karena ketidakmauan dan ketidakmampuan penguasa politik memahami dan membela kepentingan rakyatnya. Rakyat tidaklah patut disalahkan sebagai penyebab terjadinya konflik politik. Halyang perlu diperhatikan bahwa konflik politik timbulkan oleh adanya keterbatasan sumber-sumber daya yang dibutukan untuk hidup semakin besar kemungkinan terjadinya konflik politik. Dengan kata lain, semakin besar penderitaan dan kekecewaan rakyat semakin besar dorongan di dalam masyarakat untuk terlibat konflik dengan penguasa politik.

Surbakti (1992:151) Konflik politikdapat muncul kepermukaandisebabkan oleh dua hal, yaitu konflik politik kemajemukan horizontal dan konflik politik kemajemukan vertikal.

1. Kemajemukan Horizontal

Adalah struktur masyarakat yang Majemuk secara kultural, seperti:suku bangsa, daerah, agama, dan ras. Majemuk secara sosial, seperti:perbedaan pekerjaan dan profesi, serta karakteristik tempat tinggal.

  • Kemajemukan horizontal kultural dapat menyebabkan konflik karena, setiap daerah berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budaya masing-masing. Jika tidak ada konsensus nilai, maka akan terjadi perang saudara atau gerakan separatisme.
  • Kemajemukan horizontal sosial dapat menyebabkan konflik, karena masing-masing kelompok pekerjaan, profesi, dan tempat tinggal memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan saling bertentangan.

2. Kemajemukan Vertikal

Adalah struktur masyarakat yang terbagi berdasarkan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Jadi, distribusi kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan yang pincang merupakan penyebab utama timbulnya konflik politik.

Tipe dan Struktur Konflik

a. Tipe Konflik

Surbakti (1992:153) Terdapat dua tipe konflik, yaitu konflik positif dan konflik negatif. Untuk menentukan sifat suatu konflik, kita harus melihat tingkat legitimasi masyarakat terhadap sistem politik yang ada.

Konflik Positif

Adalah konflik yang tak mengancam eksistensi sistem politik, biasanya disalurkan melalui mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme tersebut ialah lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan perwakilan rakyat, pers, pengadilan, pemerintah, dan sebagainya.

Konflik Negatif

Adalah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan melalui cara nonkonstitusional, seperti kudeta, separatisme, terorisme, dan revolusi.

Sehubungan dengan adanya konflik yang positif dan konflik yang negatif dalam kaitanya dengan masyarakat, dapat dibagi menjadi dua yakni masyarakat yang mapan yakni masyatakat yang memiliki stuktur kelembagaan yang diatur dalam konstitusi danmasyarakat yang belum mapan yakni masyarakat yang belum memiliki stuktur kelembagaan yang mendapat dukungan penuh dari seluruh masyarakat.

b. Struktur Konflik

Menurut Paul Conn, struktur konflik dibedakan menjadi konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (non zero-sum conflict).

1. Konflik Menang-Kalah 

Adalah konflik yang bersifat antagonistik, sehingga tidak memungkinkan tercapainya kompromi antarapihak-pihak yang berkonflik. 

Cirinya:

  • Tidak mungkin mengadakan kerja sama
  • Hasil kompetisi akan dinikmati oleh pemenang saja
  • Yang dipertaruhkan adalah hal-hal yang prinsipil, seperti harga diri, iman kepercayaan, jabatan, dan lain-lain.

Contoh: konflik antar manusia beragama dengan orang atheis.

2. Konflik Menang-Menang

Adalah konflik dimana pihak-pihak yang terlibat masuh mungkin untuk berkompromi dan bekerja sama. Cara yang dilakukan yaitu dengan melakukan dialog, kompromi, dan kerja sama yang menguntungkan dua pihak. 

Cirinya:

Kompromi dan kerja samab.Hasil kompetisi dinikmati oleh kedua pihak, namun tidak secara maksimal.

Intensitas, Pengaturan dan Penyelesaian Konflik

a. Intensitas Politik

Intensitas konflik lebih merujuk kepada besarnya energi(ongkos) yang dikeluarkan dan tingkat keterlibatan partisipan dalam konflik. Menurut Surbakti (1992:156-158), intensitas konflik ditentukan oleh berbagai factor, yaitu:

  1. Pertentangan antara pihak-pihakyang berkonflik yang mencakup berbagai jenis.
  2. Terdapat kelas yang dominan dalam industri
  3. Pihak yang berkonflik menilai tidak mungkin terjadi peningkatan status bagi dirinya.
  4. Besar kecilnya sumber-sumber yang diperebutkan dan tingkat resiko yang timbul dari konflik tersebut. Semakin besar sumber-sumber yang diperebutkan maka konflik akan semakin intens. Demikian pula dengan resiko, semakin besar tingkat resiko yang akan ditimbulkan maka konflik akan semakin intens.

Coser (Soerjono Soekanto, 1988:94) mengungkapkan preposisi intensitas konflik sebagai berikut:

  1. Semakin disadarinya kondisi yang menyebabkan pecahnya konflik maka konflik semakin intens.
  2. Semakin besarnya keterlibatan emosional pihak-pihak dalam konflik maka konflik semakin intens.
  3. Semakin ketat struktur sosial maka tidak tersedianya alat yang melembaga untuk menyerap konflik dan ketegangan konflik semakin intens
  4. Semakin besar perlawanan kelompok-kelompok dalam konflik terhadap kepentingan objektif mereka maka konflik semakin intens.

b. Pengaturan Politik

Pegaturan konflik adalah berupa bentuk-bentuk pengendalian yang lebih diarahkan pada manifestasi konflik daripada sebab-sebab konflik. Dengan asumsi konflik tidak akan dapat diselesaikan dan dibasmi, maka konflik hanya dapat diatur saja sehingga konflik tidak mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat.

Penyelesain konflik lebih merujuk pada sebab-sebab konflik daripada manifestasi konflik. Dengan asumsi selama ada antagonisme kepentingan dalam masyarakat, konflik selalu terjadi maka konflik tidak pernah dapat diselesaikan.

Pembasmian konflik lebih merujuk pada manifestasi konflik daripada sebab-sebab konflik. Dalam jangka pendek konflik dapat dibasmi dengan kekerasaan, tetapi untuk jangka panjang tidak akan dapat ditumpas.

Menurut Ralf Dahrendorf, pengaturan konflik yang efektif sangat bergantung pada tiga factor.11 Pertama, kedua pihak harus mengakui kenyataan dan situasi konflik yang terjadi di antara mereka. Kedua, kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisasikan secara rrapi, tidak tercerai berai sehingga masing-masing pihak memahmi dengan jelas lingkup tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak menyepekati aturan main yang menjadi landasan dari pegangan dalam hubungan interkasi diantara mereka. Apabila ketiga syarat itu dapat dipenuhi maka berbagai bentuk pengaturan konflik dapat dibuat dan dilaksanakan.

Ada tiga bentuk pengaturan konflik. Pertama bentuk konsilisasi seperti parlemen atau kursi perlemen, dimana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan mendalam untuk mencapai kesepakatantanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakn kehendak. Kedua, bentuk mediasi dimana kedua pihak sepakat mencari penasehat dari pihak ketiga tetapi nasehat yang diberikan oleh mediator tidak mengikat mereka. Ketiga bentuk arbitrsi, kedua belah pihak sepakat untuk mendapatkan keputusann akhir sebagai jalan keluar konflik pada pihak ketiga sebagai arbitrator.

c. Penyelasaian Konflik Politik

Konsensus politik merupakan penyelesaian konflik politik secara damai. Dengan demikian penyelesaian konflik politik berhasil dicapai. Maswadi Rauf (2001:35-36) menyatakan bahwa penyelesaian konflik politik dapat dilakukan dengan pemilu sebagai cara mencapai konsensus politik, musyawarah sebagai cara mencapai konsensus politik, dan pemungutan suara.

Pemilu sebagai cara mencapai konsensus politik, merupakan konsensus politik yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat konflik politik yang biasanya berjumlah banyak diselesaikan oleh rakyat melalui pemilu. Referendum yang merupakan pemilu untuk menyelesaikan perbedaan tentang masalah tertentu dapat dikategorikan ke dalam pemilu. Konflik antara partai-partai politik dalam pemilu mencapai konsensus berdasarkan keputusan yang dibuat para pemilih dalam bentuk hasil pemilu. Hasil pemilu merupakan jalan keluar dari konflik politik antara partai-partai unttuk merebutkan jalan keluar dari konflik politik antara partai-partai politik untuk merebutkan posisi-posisi politik. Hasil pemilu merupakan konsensus politik dicapai secara damai maka merupakan penyelesaian konflik secara persuasif.

Musyawarah sebagai cara mencapai konsensus, musyawarah dilakukan antara pihak-pihak yang terlibat konflik politik tanpa adanya perantara karena penyelesaian konflik politik tidak bisa ditentukan pihak lain tanpa persetujuan pihak-pihak yang terlibat konflik. Musyawarah bertujuan mencari titik temu atau kompromi antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Pihak-pihak yang terlibat konflik menyetujui itu berdasarkan kehendak dan kesadaran sendiri karena merasa pendapat yang satu itulah yang terbaru untuk semua. Dalam kenyataan sangat jarang kompromi atau mufakat, karena:

  1. Besarnya perbedaan pendapat antara pihak yang terlibat konflik.
  2. Kuatnya keyakinan pihak-pihak yang terlibat konflik akan kebenaran pendapat mereka masing-masing sehingga sulit mengarapkan perubahan dari pendapat yang dianut.

Pemungutan suara. Pemungutan suara adalah perhitungan suara diantara pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menentukan jumlah suara diantara yang mendukung oleh suara terbanyak yang akan dijadikan keputusan bersama. Memang sebaiknya pertama-tama diusahakan dengan mufakat. Pemungutan suara merupakan pilihan berikutnya ketika musyawarah untuk mufakat mengalami jalan buntu. Pemungutan suara adalah cara yang lazim digunakan dalam lembaga perwakilan untuk menyelesaikan konflik antara partai-partai politik. 

Voting tidak digunakan dalam sebagai mekanisme pembuatan keputusan di dalam birokrasi memainkan peranan utama dalam menetapkan keputusan yang akan dibuat oleh instansi tersebut. Penghitungan jumlah suara dari para bawahan yang mendukung pendapat-pendapat yang tidak diperlukan, meskipun pemimpin yang baik menggunakan saran-saran dari bawahan sebagai bahan untuk pembuatan keputusan. Voting dapat dilakukan dengan mayoritas mutlak dan mayoritas sederhana. Mayoritas mutlak dapat dilakukan dengan berbagai kemungkinan, yaitu 51% atau lebih. Sedangkan mayoritas sederhana berarti jumlah yang terbesar tetapi tidak mencapai lebih dari setengah. Lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang di dunia jarang menggunakan mayoritas sederhana sebagai dasar pengambilan keputusan.

Pendapat menegaskan bahwa proses penyelesaian konflik politik yang tidak bersifat kekerasan dibagi menjadi tiga tahap yakni meliputi tahap politisasi dan atau koalisi, tahap pembuatan keputusan dan tahap pelaksanaan dan integrasi.

Jika terjadi konflik politik dalam masyarakat maka pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, setelah berhasil merumuskan tuntutannya kepada pemerintah, mereka akan melakukan politisasi. Artinya mereka akan memasyarakatkan tuntutannya melalui berbagai media komunikasi sehingga isu menjadi politik, sehingga menjadi pembicaraan di kalangan pengemuka pendapat maupun di kalangan pemerintahan. Dalam tahap ini para pihak yang terlibat dalam konflik akan melakukan perhitungan apakah akan mengadakan koalisi dengan pihak lain atau cukup memeperjuangakan sendirian. Setelah diputuskan untuk melakukan kaoalisi atau tidak, langkah selanjutnya berusaha mempengaruhi pembuat keputusan politik, agar yang terkahir ini mengabulkan tuntutannya.

Contoh Kasus Konflik Politik

Andi Sulistyo (Kompasiana)15 menjelaskan mengenai berbagai macam kasus konflik politik yang pernah terjadi di Indonesia, yang secara luas konflik dapat disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah soaial budaya politik dan ekonomi. Konflik politik dirumuskan sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara sejumlah individu, kelompok ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah disini meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Pada masa perang kemerdekaan konflik politik yang pertama terjadi diakibatkan oleh keputusan yang dibuat oleh PPKI tentang pembuatan sebuah partai tunggal bagi semua rakyat Indonesia yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia). Namun tidak terlaksana karena kurang dukungan yang akhirnya memalui Maklumat Presiden tanggal 4 November 1945 diberikan kesempatan membentuk partai-partai politik dalam rangka sistem multi partai.

Masa ini konflik elit politik banyak terjadi terutama antara Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta mengenai penyelenggaraan negara. Pada intinya perbedaannya terletak pada sikap terhadap demokrasi Barat. Soekarno tidak ingin demokrasi barat (liberal demokrasi) di berlakukan di Indonesia. Soekarno ingin nilai-nilai asli bangsa Indonesia mewarnai kehidupan politik Indonesia sementara Hatta sebaliknya ingin demokrasi barat dengan sistem parlementer yang berlaku. Puncak dari konflik ini adalah pengunduran diri Hataa dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956.

Selain konflik pada elit politik terjadi juga konflik-konflik di bawah yang muncul sebagai kelompok-kelompok radikal dalam menghadapi Belanda.

Muncul juga kelompok-kelompok Islam yang kecewa terhadap pemimpin sekuler yang dianggap gagal memperbaiki keadaan. Masuknya kembali tokoh Komunis yang sudah cukup lama bermukim di Uni Sovyet seperti Muso dan Suripno semakin memperburuk konflik, sebagai contoh pemberontakan PKI 1948 di Madiun yang merupakan salah satu konflik fisik yang paling buruk.

Berlanjut pada konflik politik masa Demokrasi Parlementer yang merupakan keberlanjutan dari pola konflik pada masa perang kemerdekaan. Idiologi yang bertentangan yang dianut oleh partai-partai politik merupakan faktor penyebab terjadinya konflik. Konflik utama terjadi antara PKI dan Masyumi yang merupakan partai Islam.

Dampak dari konflik ini mengakibatkan sering bergantinya kabinet, selama lima setengah tahun (september 1950 sampai Maret 1956) ada 5 kabinet yang terbentuk. Hal ini menyebabkan kabinet tidak mempunyai cukup waktu untuk memikirkan pembangunan nasional. Konflik ini juga menyebabkan pergolakan di daerah-daerah seperti konflik fisik PRRI-Permesta dimana untuk penumpasannnya dibutuhkan operasi militer yang melibatkan tiga angkatan.

Masa Demokrasi Terpimpin ditandai oleh adanya usaha-usaha Presiden Soekarno untuk mempertahankan keseimbangan antara dua kekuatan politik utama, PKI dan ABRI. Oleh karena itu, persoalan utama yang dihadapi oleh Demokrasi Terpimpin adalah bagaimana Presiden Soekarno bisa mempertahankan keseimbangan antara keduanya sehingga tidak ada satupun kekuatan yang merasa lebih kuat untuk menumpas kekuatan lainnya. Soekarno memerlukan dukungan PKI yang muncul sebagai partai politik terbesar melalui manuver-manuver yang sistematis di daerah pedesaan di Jawa.

ABRI berangsur-angsur tampil sebagai kekuatan politik baru dalam kancah politik Indonesia. Melalui dua fungsi ABRI yang didukung oleh Presiden Soekarno, ABRI memperoleh sarana untuk memperkuat kedudukannya melawan PKI. Secara historis, ABRI adalah lawan PKI karena dalam sejarah terbukti bahwa PKI melalui Pemberontakan Madiun 1948 ingin mengganti RI dengan negara lain. Oleh karena itu, G 30 S adalah penyelesaian konflik secara koersif yang dilakukan oleh PKI karena merasa dirinya sudah cukup kuat untuk melakukan pukulan terhadap ABRI dan Anti Komunis yang lainnya. Ternyata dugaan PKI salah karena ABRI dan Kelompok Anti Komunis tidak kalah dengan sekali pukul. Mereka yang diserang segera membalas sehingga terjadi peristiwa berdarah yang hebat.

Menjelang Pemilu 1971 mulai terlihat bahwa Pemerintah Orde Baru menganut sifat yang sama dengan Soekarno dalam menghadapi konflik politik yakni kekhawatiran yang berlebih terhadap konflik. Elit politik Orde Baru selalu khawatir karena akan mengganggu kestabilan politik, integrasi nasional dan pembangunan nasional. Ketiga hal tersebut digunakan untuk alasan membatasi kebebasan di segala bidang. Dampak dari sikap tersebut adalah pembatasan terhadap kebebasan partai politik. Pada tahun 1973 diadakan penyederhanaan kepartaian yang menghasilkan tiga partai politik yakni: PPP, PDI, dan Golkar. Kemudian pada tahun 1985 dikeluarkan UU yang menetapkan Pancasla sebagai satu-satunya asas yang menutup kemungkinan bagi partai politik untuk mempunyai ideologi lain. Usaha pemerintah ini dinilai negatif karena dianggap membatasi kebebasan partai politik meskipun kenyataannya pertai-partai telah melakukan ketentuan tersebut.

Kejadian yang mirip pada masa Demokrasi Terpimpin terulang kembali. Kekhawatiran yang berlebih terhadap konflik politik menghasilkan tindakan-tindakan represif terhadap konflik yang menghilangkan kebebasan yang menimbulkan ketakutan di dalam masyarakat. Berkurangnya konflik karena kekerasan yang dihasilkan tindakan represif mengakibatkan terbentuknya kekuatan absolut dan otoriter. Bila masa Soekarno menghasilkan pembrontakan G 30 S dan kemelaratan rakyat, masa Soeharto menghasilkan kebangktutan negara karena korupsi yang luar biasa hebatnya diikuti oleh krisis politik dan krisis ekonomi yang menimbulkan penderitaan rakyat. Dibandingkan dengan masa Soekarno, masa Soeharto menghasilkan kekacauan yang lebih parah karena malapetaka yang dihasilkan oleh pemerintah yang otoriter itu tidak hanya krisis politik dan krisis ekonomi tapi juga krisis moral yang memerlukan waktu yag panjang untuk mengatasinya.

Pada masa reformasi partai politik disamping sebagai wujud dari demokratisasi namun merupakan organisasi yang memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya adalah tentang “suksesi” kepemimpinan nasional. Pola konflik dan pola hubungan dalam partai politik ini bisa tercermati dalam pemilu 1999, yaitu realita penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok terhadap kelompok yang lainnya.

Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap Orde Baru, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan asal bukan Habibie atau Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam (PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok Poros Tengah.

Bangunan aliansi yang dilakukan poros tengah yang kemudian menyeret PKB untuk menghianati PDI Perjuangan dan mengusung K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia setelah Habibie. Namun dalam perjalanannya, keakraban Amien Rais (sebagai pemimpin poros tengah) dan Gus Dur terberai kembali akibat dari perbedaaan-perbedaan kepentingan politik yang dilakukan masing-masing.

Pada keterberaian ini pula yang meruntuhkan legitimasi politik Gus Dur sebagai Presiden, walaupun disisi lain terdapat berbagai kepentingan politik yang ikut meramaikannya seperti kepentingan politik militer, PDI Perjuangan, kelompok penguasa korporatisme nasional yang dihegemoni Soeharto atau Orde Baru, termasuk kepentingan modal asing atau negara lain (seperti Amerika Serikat, Uni Eropa) yang terusik atas beberapa kebijakan ekonomi nasional yang dilakukan Kabinet Gus Dur serta dari kelompok kepentingan ideologis yang radikal untuk mengubah konsepsi Indonesia menjadi berkarakter politik Islam atau demokrasi Liberal.

Berawal dari tarikan kepentingan kekuasaan suksesi nasional yang dilakukan para elite, yang selanjutnya membangun perspektif tersendiri dalam konflik-konflik konstitusi di Indonesia. Seperti dalam kejatuhan Abdurrahman Wahid memperkuat perlunya tindakan amandemen atas UUD 1945, karena konstitusi tersebut membuka perseteruan interpretasi dan dianggap menjadi sumber kekacauan ketatanegaraan di Indonesia. Terlebih pada perdebatan sistem politik Indonesia, apakah presidensil atau parlementer. Pada masa Gus Dur, sistem presidensil versi UUD 1945 terbukti rentan, dan bisa terdeviasi pada sistem parlementer.

Maka dari sistem yang mendua, MPR periode 1999-2004 melakukan perubahan terhadap UUD. Tidaklah menjadi aneh jika dimasa Megawati (pasca Gus Dur) dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus 2001 mengusung komisi konstitusi yang berkembang di Sidang Tahunan MPR 2001 dan memunculkan perbedaan tajam antara sikapkonservatismedi majelis karena kegagalannya membentuk komisi dan tidak mampu melakukan perubahan-perubahan atas pasal-pasal krusial. Padahal tanpa komisi konstitusiindependenakan menjadi kesulitan untuk dapat menghasilkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis serta mencerminkan kepentingan rakyat.

Pada masa SBY sekarang ini yang lebih cenderung pada politik pencitraan dimana segala sesuatu selalu dibesar-besarkan demi kepentingan kekuasaaan. Terbukti SBY dengan politik pencitraan itu SBY mampu menjadi presiden selala dua periode. Setelah memenangkan Pilpres 2009, SBY menghadapi persoalan pelik menghadapi ancaman konflik internal koalisi partai pendukung pemerintahannya. Hal itu karena dengan dukungan 23 partai pada Pemilu 2009 dimana setiap partai mengusung ideologi dan pendapatnya sendiri. Akibatnya SBY akan memakan waktu lama bila memutuskan suatu kebijakan hal ini yang kemudian dipersepsikan masyarakat sebagai presiden yang ragu-ragu.

Konflik koalisi yang masih hangat adalah menyoal kenaikan harga BBM. Dimana salah satu partai koalisi dalam kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yaitu PKS tidak mendukung kebijakan SBY dalam parlemen. PKS menolak untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dan alhasil dengan tidak didukungnya kebijakan SBY oleh PKS maka DPR dengan jalan voting memutuskan untuk tidak menaikkkan harga BBM. Kemudian masalah penghianatan koalisi ini yang sekarang mengerucut menjadi isu Reshufflekabinet.

Memahami konflik politik yang terjadi di Indonesia dilihat dari sudut pandang penyelesaian konflik dapat dibagi menjadi dua yaitu sejak masa perang kemerdekaan sampai orde baru dan setelah orde baru sampai saat ini. Sejak perang kemerdekaan hingga Orde Baru penyelesaian konflik dilakukan dengan cara kekerasan. Penyelesaian konflik seperti ini menurut Marx ada dua sebab, pertama karena tidak ada tawar-menawar kelas borjuis dengan proletar. Kedua, kelas borjuis, sebagaimana manusia pada umumnya tidak akan mau mengurangi kenikmatan yang mereka peroleh selama ini. Sementara setelah Orde Baru terjadi keterbukaan pimikiran bahwa pnyelesaian konflik dengan cara kekerasan mulai ditinggalkan. Penyelesaian konflik politik ini yang seharusnya dipilih dalam perkembangan politik Indonesia ke depan.

Kesimpulan

a. Konflik merupakan suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak, ketika keduanya menginginkan suatu kebutuhan yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak tersebut, namun hanya ada salah satu pihak yang memungkinkan untuk mencapai tujuan tersebut. Konflik mengandung pengertian benturan seperti perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antar individu atau kelompok. Menurut Charles Watkins berpendapat bahwa konflik terjadi karena terdapat dua hal yaitu:

  1. Konflik biasa terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat dua pihak secara potensial dan praktis/operasional dapat saling menghambat. Secara potensial mereka memilik kemampuan untuk mengahambat.
  2. Konflik dapat terjadi bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak, namun hanya ada salah satu pihak yang memungkinkan mencapainya

b. Salah satu sumber yang menjadi faktor penyebab dari konflik politik adalah adanya stuktur yang terdiri dari penguasa politik dan sejumlah orang yang dikuasi. Stuktur ini menyebabkan bahwa konflik politik yang utama adalah antara penguasa politik dan sejumlah orang yang menjadi objek kekuasaan politik. Konflik yang hebat antara penguasa politik dengan rakyatnya sendiri karena ketidakmauan dan ketidakmampuan penguasa politik memahami dan membela kepentingan rakyatnya. Rakyat tidaklah patut disalahkan sebagai penyebab terjadinya konflik politik. Hal yang perlu diperhatikan bahwa konflik politik timbulkan oleh adanya keterbatasan sumber-sumber daya yang dibutukan untuk hidup semakin besar kemungkinan terjadinya konflik politik. Dengan kata lain, semakin besar penderitaan dan kekecewaan rakyat semakin besar dorongan di dalam masyarakat untuk terlibat konflik dengan penguasa politik.

c. Tipe konflik terdapat dua tipe, yaitu konflik positif dan konflik negatif. Sedangkan Struktur konflik menurut Paul Conn dapat dibedakan menjadi dua yaitu konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (non zero-sum conflict).

d. Intensitas dalam konflik lebih merujuk kepada besarnya energi (ongkos) yang dikeluarkan dan tingkat keterlibatan partisipan dalam konflik. Pegaturan konflik adalah berupa bentuk-bentuk pengendalian yang lebih diarahkan pada manifestasi konflik daripada sebab-sebab konflik. Dengan asumsi konflik tidak akan dapat diselesaikan dan dibasmi, maka konflik hanya dapat diatur saja sehingga konflik tidak mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat. Konsensus politik merupakan penyelesaian konflik politik secara damai. Dengan demikian penyelesaian konflik politik berhasil dicapai.

e. Salah satu contoh kasus konflik politik terjadi pada masa perang kemerdekaan yaitu konflik politik yang pertama terjadi diakibatkan oleh keputusan yang dibuat oleh PPKI tentang pembuatan sebuah partai tunggal bagi semua rakyat Indonesia yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia). Namun tidak terlaksana karena kurang dukungan yang akhirnya memalui Maklumat Presiden tanggal 4 November 1945 diberikan kesempatan membentuk partai-partai politik dalam rangka sistem multi partai .

Tulisan ini merupakan hasil karya dari : Fahmi M Lutfi, Fitri Anisa, Gilang Agus Budiman , Jawad Mughofar KH 1145010071. Di publikasikan di Acedemia.edu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © Desimasi 212 . All rights reserved.