Label

Kaitan Aktor Politik dengan Media Massa sebagai Konstruksi Realitas Politik

Media Massa dan Konstruksi Realitas Politik

Karakteristik Liputan Politik

Peristiwa politik selalu menjadi suatu hal yang menarik perhatian media massa sebagai bahan liputan. Hal ini terjadi karena ada dua faktor yang saling berkaitan. Yang Pertama, dewasa ini politik berada di era mediasi (politics in the age of mediation), yakni media massa, sehingga hampir mustahil kehidupan politik dapat dipisahkan dari media massa. Malahan para pemain panggung politik senantiasa berusaha menarik perhatian wartawan supaya aktivitas politiknya mendapat liputan dari media. Yang Kedua, peristiwa politik dalam bentuk tingkah laku dan pernyataan para aktor politik lazimnya selalu mempunyai nilai berita sekalipun peristiwa politik itu bersifat rutin belaka, seperti rapat partai dan pertemuan seorang tokoh politik dengan para pendukungnya. Apalagi jika peristiwa politik itu bersifat luar biasa seperti pergantian presiden di tengah masa jabatan dan pembubaran parlemen. Alhasil, liputan politik senantiasa menghiasi berbagai media setiap harinya.


Liputan politik juga cenderung lebih rumit dibandingkan reportase bidang kehidupan lainnya. Pada satu pihak, liputan politik memiliki dimensi pembentukan opini publik (public opinion), baik yang diharapkan oleh para politisi maupun oleh para wartawan. Terutama oleh para aktor politik, berita politik diharapkan mempengaruhi sikap khalayak mengenai masalah yang dibicarakan si aktor panggung politik. Para aktor politik menginginkan publik ikut terlibat dalam pembicaraan dan tindakan politik melalui pesan politik yang diutarakannya. Dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini ini memang menjadi tujuan utama, karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian-pencapaian politik para aktor politik.

Dalam kerangka pembentukan opini publik ini, media masa umumnya melakukan tiga kegiatan dalam waktu bersamaan. Pertama, menggunakan simbol-simbol politik (language of politic). Kedua, melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategis). Ketiga, melakukan fungsi agenda media (agenda setting function). Tatkala melakukan ketiga tindakan tersebut, boleh jadi sebuah media dipengaruhi oleh berbagai faktor internal berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai suatu kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan politik terbaru tertentu, dan faktor eksternal seperti tekanan pasar pembaca atau pemirsa, sistem politik yang berlaku, dan kekuatan-kekuatan luar lainnya. Dengan demikian, boleh jadi satu peristiwa politik bisa menimbulkan opini publik yang berbeda-beda tergantung dari cara masing-masing media melaksanakan tiga tindak tersebut.

Di pihak lain, kegiatan di bidang media massa dewasa ini termasuk di Indonesia telah menjadi industri. Dengan masuknya unsur kapital, media massa mau tak mau harus memikirkan pasar demi mendapatkan keuntungan (revenue) baik dari penjualan maupun dari iklan. Tak terkecuali dalam menyajikan peristiwa politik, karena pengaruh modal ini media massa akan lebih memperhatikan kepuasan khalayak (pelanggan dan pengiklan) sebagai pasar mereka dalam mengkonsumsi berita-berita politik. 

Padahal, publik dalam komunikasi politik khususnya di Indonesia secara umum memiliki keterikatan secara ideologis (ideologies ladden) dengan partai-partai politik, atas dasar agama, nasionalisme, ataupun kerakyatan (sosialisme). Keadaan demikian dengan sangat mudah dapat kita amati terutama pada masa Pemilu, Pilkada, dan Pilpres setiap warga memperlihatkan orientasi politiknya masing-masing.

Demikian pula, media massa kita juga pada tingkat tertentu terlibat dengan kehidupan partai politik. Bahkan dari segi kesejahteraan, surat-surat kabar kita pernah terpolarisasi ke dalam partai-partai politi. 

Dalam situasi transisi pasca reformasi tahun 1999, yang ditengarai dengan hidupnya kembali aliran-aliran politik serta menurunnya kontrol negara terhadap politik dan pers, perhubungan keduanya - partai politik dengan ragam aliran dan koran-koran yang memiliki latar belakang sejarah politik - mendorong dibuktikannya satu hipotesis bahwa liputan politik pasca reformasi akan bersifat partisan.

Jika berbagai faktor-faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi pembuatan liputan politik itu di gabung dengan alat-alat yang dipakai untuk mengkonstruksikan realitas politik - yaitu language of politic, framing strategies, dan agenda setting kemudian kita tuangkan ke dalam sebuah gambar seperti tertera pada Penampang 1, pastilah lebih mudah bagi kita untuk melihat proses dibentuknya wawancara politik oleh masing-masing media. 

Kendati pembuatan penampang ini dibuat untuk menjelaskan karakteristik liputan peristiwa politik, sebenarnya dengan penampang ini juga kita dapat melakukan visualisasi terhadap dinamika yang terjadi dalam pembentukan teks apapun, seperti berita, features, dan tajuk rencana, baik di media cetak maupun di media elektronik.

Secara global, penampang 1 dapat dijelaskan sebagai berikut. Lahirnya berita politik (8) senantiasa dimulai dengan peristiwa politik (1) baik yang menyangkut organisasi maupun aktor politik. Pengkonstruksian realitas politik (6) hingga membentuk makna dan citra tertentu (9) pertama-tema tergantung pada faktor sistem media yang berlaku.


Media massa sering menjadi media komunikasi politik terutama oleh aktor politik yang sedang berkuasa. Tradisi jurnalistik dimulai dengan adanya kepentingan para raja menyebarluaskan maklumat-maklumat kekuasaannya. Pada masa-masa selanjutnya, setiap kekuasaan selalu bersentuhan dengan media massa demi berbagai kepentingan politik.

Dalam dunia politik modern media bahkan telah menjadi keniscayaan, juga untuk bermacam kepentingan. Setiap kekuatan politik sedapat mungkin memakai media massa untuk melancarkan hajat politiknya. Dalam hubungan ini tak selamanya media massa ditentukan oleh sistem politik (rezim) melainkan tergantung pada persebaran kekuasaan (power sharing) yang terjadi negara itu. Di dalam negara dimana setiap kelompok sosial memiliki kesempatan yang sama terhadap media, maka media massa dapat menjadi saluran komunikasi politik untuk mempengaruhi sistem politik (rezim).

Berkaitan dengan liputan politik di lapangan, interaksi antara kedua institusi itu justru bersifat saling mempengaruhi, tepatnya saling membutuhkan. Penguasa dan aktor-aktor politik merupakan sumber berita bagi media massa. Sebabnya ialah peristiwa politik dan tingkah laku (pernyataan) para aktor politik umumnya mempunyai nilai berita sekalipun peristiwanya bersifat rutin belaka. Padahal, nilai berita itu bagi media massa sangatlah pening karena berkaitan dengan kehidupannya di tengah khalayak sesuai tuntutan jurnalisme. Sesuai asas pemberitaan, sebuah liputan yang layak jadi berita adalah peristiwa yang memiliki nilai berita.

Sebaiknya, media massa sering menjadi sumber informasi di samping sebagai saluran komunikasi bagi para politisi. Cara-cara media menampilkan peristiwa-peristiwa politik dapat mempengaruhi persepsi pada aktor politik dan masyarakat mengenai perkembangan politik. Melalui fungsi kontrol sosialnya, bersama institusi sosial lainnya, secara persuasif media massa bisa menggugah partisipasi publik untuk ikut serta dalam merombak struktur politik.

Keikutsertaan media massa dalam mengubah sistem politik tiada lain adalah melalui pembentukan opini publik atau pendapat umum (public opinion), yaitu upaya membangunkan sikap dan tindakan khalayak mengenai sebuah masalah politik dan/atau aktor politik. Dalam kerangka ini media masa menyampaikan pembicaraan-pembicaraan politik (politicals talks) kepada khalayak. Bentuk pembicaraan politik tersebut dalam media antara lain berupa teks atau berita politik yang lagi-lagi di dalamnya terdapat pilihan simbol politik dan fakta politik. Karena kemampuan ini pula, media massa sering menjadikan alat propaganda dalam komunikasi politik. Bahkan karena peranannya ini, komunikasi politik sering diidentikkan dengan prograganda.

Setidaknya ada dua penyebab mengapa komunikasi politik yang melibatkan media massa, memiliki ciri khas membentuk opini publik. Pertama dari segi luas jangkauan media dalam menyebarkan berbagai pesan dan pembicaraan politik beserta fungsinya masing-masing. Karena daya jangkauannya itulah para aktor politik memanfaatkan media untuk menyebarluaskan pembicaraan-pembicaraan politi mereka, dengan harapan capaian tujuan politiknya juga bisa jauh lebih besar ketimbang yang bisa diperoleh melalui saluran komunikasi politik lainnya.

Para aktor itu berharap bahwa menggunakan simbol-simbol politik dalam pembicaraan-pembicaraan politik bisa mendatangkan berbagai keuntungan politik mulai dari : (1) keuntungan material, (2) peningkatan status, (3) pemberian identitas, sampai sebatas (4) penyebaran informasi. Terutama untuk mencapai tujuan politik ke-2, 3, dan 4, jelas media massa dapat menjadi alat bantu yang ampuh.

Kedua, dari aspek "campur tangan" media dalam menyajikan realitas politik melalui suatu proses yang kita sebut proses konsruksi realitas (construction of reality). Liputan politik - sebetulnya liputan sebuah peristiwa di media massa secara tertulis ataupun rekaman adalah konstruksi realitas: suatu upaya menyusun realialitas dari satu atau sejumlah peristiwa yang semula terpenggal-penggal (acak) menjadi tersistematis hingga membentuk cerita atau wacana yang bermakna.
Dalam komunikasi politik, konstruksi realitas oleh media massa tersebut menjadi sangat khas. Sebab cara sebuah media mengkonstruksikan suatu peristiwa politik akan memberi citra tertentu mengenai sebuah realitas politik, yang bagi para aktor dan partai politik citra ini sangat penting demi kepentingan politiknya masing-masing. Bagi media massa, cara mereka mengkonstruksikan realitas politik dapat menjadi stragi menyimpan motif-motif masing-masing media di balik wacana yang dibangunnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © Desimasi 212 . All rights reserved.