Sejarah Hubungan Diplomatik Iran dan Israel Sebelum dan Sesudah Revolusi Iran 1979
Hubungan antara Iran dan Israel telah mengalami perubahan drastis sepanjang sejarah modern, terutama sebelum dan sesudah Revolusi Islam Iran tahun 1979. Dari semula menjadi mitra strategis yang menjalin hubungan erat, keduanya berubah menjadi musuh ideologis yang saling bermusuhan. Perubahan ini tidak hanya mempengaruhi dinamika kawasan Timur Tengah, tetapi juga geopolitik global secara keseluruhan.
Iran dan Israel: Hubungan Akrab Sebelum 1979
Sebelum Revolusi Islam 1979, Iran merupakan negara monarki yang dipimpin oleh Mohammad Reza Shah Pahlavi, dan dikenal sebagai sekutu utama Barat, khususnya Amerika Serikat. Dalam konteks ini, Iran memiliki hubungan dekat dengan Israel yang juga merupakan sekutu strategis AS di Timur Tengah. Meski hubungan tersebut tidak bersifat resmi dan terbuka, keduanya menjalin kemitraan erat di berbagai bidang, seperti militer, ekonomi, intelijen, hingga teknologi.
Hubungan Diplomatik dan Intelijen
Iran adalah salah satu dari sedikit negara mayoritas Muslim yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel setelah negara Yahudi tersebut berdiri pada tahun 1948. Meski tidak secara terbuka, hubungan ini semakin menguat sejak pertengahan tahun 1950-an. Kedua negara saling membuka kantor dagang di ibu kota masing-masing—Tel Aviv dan Teheran—yang pada hakikatnya berfungsi sebagai kedutaan tidak resmi.
Kerja sama intelijen antara Mossad (Israel) dan SAVAK (badan intelijen Iran di bawah Shah) juga terkenal kuat. Keduanya bertukar informasi tentang gerakan-gerakan sayap kiri, kelompok pan-Arab, dan aktivitas-aktivitas yang dianggap mengancam stabilitas regional dan rezim masing-masing.
Hubungan Ekonomi dan Energi
Iran adalah salah satu pemasok minyak utama bagi Israel sebelum 1979. Proyek jalur pipa minyak antara Iran dan Israel, dikenal sebagai Eilat-Ashkelon Pipeline, dibangun untuk menyalurkan minyak Iran ke pelabuhan Israel dan kemudian diekspor ke Eropa. Ini menjadi bukti konkret bagaimana kedua negara menjalin hubungan ekonomi yang sangat erat di balik layar.
Israel juga terlibat dalam beberapa proyek infrastruktur dan pertanian di Iran. Banyak insinyur dan ahli teknologi Israel bekerja di Teheran dan kota-kota besar lainnya untuk membantu pembangunan Iran di bawah Shah.
Persamaan Ancaman Regional
Secara strategis, Iran dan Israel memiliki kepentingan yang sama dalam menghadapi pengaruh Mesir di bawah Gamal Abdel Nasser, yang menganut paham Pan-Arabisme. Keduanya juga sama-sama memusuhi kekuatan militer dan ideologi revolusioner yang muncul dari negara-negara Arab seperti Irak dan Suriah. Ini menjadikan Iran dan Israel sebagai sekutu “de facto” dalam konteks politik regional.
Titik Balik: Revolusi Islam 1979
Segalanya berubah secara radikal ketika Revolusi Islam meletus di Iran pada tahun 1979. Shah Pahlavi digulingkan, dan digantikan oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini yang mendirikan Republik Islam Iran. Rezim baru ini sangat anti-Barat, anti-imperialis, dan secara terbuka menentang eksistensi negara Israel.
Pemutusan Hubungan Diplomatik
Salah satu langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintahan Khomeini adalah memutuskan semua hubungan diplomatik dengan Israel. Kedutaan Israel di Teheran disita dan diserahkan kepada Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai bentuk solidaritas Iran terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Ayatollah Khomeini menyebut Israel sebagai “rezim Zionis” dan musuh Islam yang harus dihancurkan. Retorika ini menjadi bagian penting dari ideologi Republik Islam Iran hingga hari ini.
Ideologi dan Politik Eksternal Baru
Revolusi Iran membawa paradigma baru dalam kebijakan luar negeri Iran. Negara ini tidak lagi mencari sekutu berdasarkan kepentingan pragmatis, melainkan berdasarkan pada ideologi Islam revolusioner yang menentang kekuasaan “tirani”, termasuk AS dan Israel. Khomeini melihat Israel sebagai penjajah atas tanah suci Islam dan sebagai perpanjangan tangan imperialisme Barat di kawasan Timur Tengah.
Retorika anti-Zionis dan pro-Palestina menjadi pilar utama kebijakan luar negeri Iran. Iran mulai mendukung kelompok-kelompok seperti Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza, dan organisasi-organisasi lain yang memiliki agenda melawan Israel.
Hubungan Pasca-1979: Ketegangan yang Terus Meningkat
Setelah pemutusan hubungan diplomatik, ketegangan antara Iran dan Israel terus meningkat dan meluas ke berbagai bidang, termasuk militer, intelijen, teknologi, dan media.
Perang Proxy dan Konflik Tidak Langsung
Iran tidak secara langsung berperang dengan Israel, namun kedua negara terlibat dalam banyak konflik proxy (perang tidak langsung), terutama di Lebanon dan Suriah. Iran mendukung Hizbullah di Lebanon dengan dana, senjata, dan pelatihan militer. Hizbullah kemudian menjadi musuh utama Israel di wilayah utara dan pernah terlibat dalam perang dengan Israel pada tahun 2006.
Di Suriah, selama perang saudara, Iran dan Israel beroperasi di medan yang sama namun dengan tujuan yang bertolak belakang. Iran mendukung rezim Bashar al-Assad, sementara Israel melakukan serangan udara ke basis Iran dan Hizbullah di wilayah Suriah untuk mencegah transfer senjata canggih.
Program Nuklir Iran dan Respons Israel
Sejak awal tahun 2000-an, perhatian dunia tertuju pada program nuklir Iran. Israel menganggap ambisi nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial. Berbagai serangan siber seperti Stuxnet, serta pembunuhan terhadap ilmuwan nuklir Iran, diyakini merupakan bagian dari operasi rahasia Israel.
Israel secara konsisten menentang kesepakatan nuklir antara Iran dan negara-negara Barat (JCPOA) yang dicapai pada tahun 2015, karena dinilai tidak cukup untuk menghentikan kemampuan Iran membangun senjata nuklir.
Dimensi Lain: Propaganda, Teknologi, dan Ekonomi
Selain konflik militer dan ideologis, pertarungan antara Iran dan Israel juga berlangsung di dunia propaganda media, siber, dan ekonomi.
-
Iran memproduksi film, lagu, dan konten media yang mengecam Israel.
-
Israel melakukan operasi kontra-propaganda dan menyebarkan narasi untuk menentang rezim Teheran.
-
Perang siber menjadi medan baru konflik, dengan serangan ke fasilitas air, energi, dan infrastruktur penting di kedua negara.
Upaya Perdamaian? Tantangan dan Peluang
Meski ketegangan terus berlangsung, beberapa analis percaya bahwa masa depan tidak selalu harus konflik. Perubahan pemerintahan di kedua negara, tekanan internasional, atau pergeseran aliansi regional bisa membuka peluang dialog.
Namun hambatannya sangat besar:
-
Di Iran, sentimen anti-Israel adalah bagian dari ideologi negara.
-
Di Israel, Iran dipandang sebagai ancaman terbesar terhadap keamanan nasional.
-
Masyarakat di kedua negara telah terpapar narasi saling bermusuhan selama puluhan tahun.
Upaya perdamaian harus dimulai dari dialog masyarakat sipil, pendidikan perdamaian, serta diplomasi backchannel oleh negara ketiga seperti Oman, Swiss, atau Turki.
Kesimpulan
Hubungan antara Iran dan Israel mencerminkan betapa dinamis dan kompleksnya politik di Timur Tengah. Dari semula sebagai sekutu strategis yang bekerja sama dalam banyak bidang, keduanya berubah menjadi musuh bebuyutan dengan konflik multidimensi: ideologis, militer, hingga siber. Revolusi Islam Iran 1979 menjadi titik balik paling besar dalam sejarah hubungan kedua negara.
Untuk memahami konflik Iran-Israel secara utuh, kita perlu melihat bukan hanya pada peristiwa-peristiwa besar, tetapi juga dinamika masyarakat, kebijakan luar negeri, dan perubahan politik domestik yang mempengaruhi arah hubungan kedua negara ini. Dengan pendekatan yang lebih terbuka dan edukatif, blog seperti ini dapat menjadi sarana yang baik untuk memperluas wawasan publik dan mendorong dialog yang lebih konstruktif.
Posting Komentar untuk "Iran, Israel, Revolusi Iran 1979, Hubungan Internasional, Politik Timur Tengah, Sejarah Politik, Konflik Global, Geopolitik, Diplomasi, Perang Dingin"